Sejarah Singkat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei

Balerumah.com - Penetapan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, diambil dari hari kelahiran tokoh pendidikan nasional, yaitu Ki Hajar Dewantara.
Sosok tokoh asal Yogyakarta ini meninggalkan banyak sekali warisan bagi pendidikan nasional di Indonesia. Salah satu semboyannya yang terkenal adalah berbunyi:

"Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani", yang artinya: "Di depan (guru) harus memberi contoh yang baik, di tengah-tengah (muridnya) harus menciptakan ide dan prakarsa, di belakang harus bisa memberi dorongan dan arahan).

Semboyan ini hingga sekarang masih digunakan dalam sistem pendidikan di Indonesia, misalnya yang sering kita ketahui "Tut wuri handayani".

Bukan hanya meninggalkan semboyan, Ki Hajar Dewantara di sepanjang hidupnya juga telah memperjuangkan hak belajar kaum Pribumi di masa penjajahan Belanda dengan mendirikan lembaga Taman Siswa di Jogja.

Di sana, masyarakat yang awalnya kesulitan mengakses pendidikan, kini bisa bersama-sama merasakan luasnya ilmu pengetahuan sebagaimana yang didapatkan oleh kelompok bangsawan. Dengan demikian, pendidikan yang awalnya tidak mungkin dijangkau oleh kalangan Pribumi, kemudian mulai bisa dinikmati.

Hari Pendidikan Nasional diperingati masyarakat Indonesia setiap tahunnya pada tanggal 2 Mei. Pada tanggal itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Melansir dari situs Patikab, peringatan Hardiknas ditetapkan setelah adanya Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959.

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889, dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari keluarga Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta, yang merupakan salah satu kerajaan pecahan dari Dinasti Mataram selain Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.


Beliau menamatkan sekolah di ELS (Sekolah Dasar Belanda), kemudian melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) meskipun tidak ditamatkan akibat sakit yang dideritanya.

Di masa mudanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai aktivis sekaligus jurnalis pergerakan nasional yang aktif. Ia pernah menjadi wartawan di beberapa surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Sementara itu, ia juga sempat bergabung dengan Boedi Oetomo (BO) di Batavia (Jakarta) pada 20 Mei 1908, kemudian keluar dan mendirikan Indische Partij (IP) bersama Cipto Mangunkusumo serta Ernest Douwes Dekker atau Tiga Serangkai pada 25 Desember 1912.

Melalui tulisan-tulisannya, beliau menyampaikan kritik terkait pendidikan di Indonesia yang kala itu hanya boleh dinikmati oleh para keturunan Belanda dan kaum bangsawan saja.

Dikutip dari buku Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (1986) karya Abdurrachman Surjomihardjo, Tiga Serangkai pernah diasingkan ke Belanda sejak 1913 akibat tulisannya yang dianggap menghina pemerintah.

Melalui Ki Hajar Dewantara, kata “Indonesia” dipakai di kancah internasional untuk pertama kalinya. Hal tersebut ia lakukan saat mendirikan kantor berita dengan nama Indonesische Persbureau di Den Haag.

Di sisi lain, ia juga bergabung dengan Indische Vereeniging (IV) ketika di Belanda. Indische Vereeniging (IV) merupakan organisasi pelajar Indonesia di Belanda. Pada 6 September 1919, beliau pun dipulangkan ke tanah air.

“Kini, saya telah memperoleh kembali kebebasan saya tanpa suatu janji atau pernyataan apapun juga dari saya. Ini berarti kemenangan bagi saya,” tulis Ki Hajar Dewantara mengenai kepulangannya.

Setelah itu, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta.

Beliau juga telah mengajarkan filososi yang terkenal di dunia pendidikan yakni “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mbangun karso, Tut wuri handayani” yang artinya “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia di kabinet pertama di bawah pemerintahan Ir. Soekarno.

Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Namun, dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa ini, tepatnya pada tanggal 28 April 1959, beliau wafat di Yogyakarta.

Atas perjuangan Ki hajar Dewantara ini, ia mendapat julukan bapak pendidikan Indonesia. Selanjutnya, setiap tanggal 2 Mei yang merupakan hari lahir Ki Hajar Dewantara, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel